Agus
Salim adalah salah satu tokoh nasional Indonesia. Beliau lahir di Sumatra
Barat, 8 Oktober 1884. Nama kecilnya adalah Musyudul Haq. Beliau lahir dari
pasangan sami istri Sutan Muhammad Salim dan Siti Zaenab. Ayahnya adalah
pejabat pribumi yang dipercaya oleh pemerintah Belanda untuk menjadi hoofdjaksa
( pengadilan negeri). Sungguh hebat karena pada saat itu pemerintah belanda
sangat jarang memberi kesempatan pada anak pribumi untuk menjadi bagian dari
pemerintah belanda. Musyudul Haq kecil mendapat gelar kehormatan dari Belanda
‘gelijkgesteld’ atau sama derajatnya dengan bangsa Eropa. Semanjak kecil orang
tuanya memanggilnya dengan sebutan “den bagus”. Orang-orang belanda sangat
kesulitan untuk menyebut dengan kata tersebut. Lalu mereka menyebutnya dengan
sebutan “aguts” (agustus). Dan kelak namanya akan berganti dengan nama “Agus
Salim” yang berarti agus putra Salim.[i]
Agus
Salim kecil merupakan anak yang cerdas. Ia mengawali karir pendidikannya di
sekolah ELS (Europeese Lagere School) yang mana didalamnya banyak orang-orang
belanda. Ia sangat pandai menerka bahasa yang diucapkan oleh orang-orang
belanda. Sehingga ia dapat bersaing dengan bule-bule belanda di sekolahnya.
Pada umur 10 tahun, ia bahkan sudah menguasai bahasa belanda dengan baik.
Sehingga gurunya yang bernama Mr.Brouwer memintanya agar mau tinggal
bersamanya. Ia mempunyai cara unik untuk belajar. Ia setiap sehabis sholat
dzuhur selalu belajar ditempat yang sangat sunyi. Yaitu diantara plafon dengan
genteng. Tak ada satupun yang mengetahuinya kalau ia belajar disana termasuk
orang tua dan teman-teman yang mengajak bermain dengannya. Ia selalu menjalani
proses balajarnya dari habis dzuhur sampai menjelang sholat ashar. Satelah ia
melakoni belajarnya, ia kemudiian baru bermain dengan temen-temennya di sore
hari sehabis sholat ashar.[ii]
Setelah
lulus dari ELS beliau melanjutkan pendidikannya ke HBS (Hoogere Burgerschool) dan dengan kecerdasanya
yang luar biasa, ia dapat menjadi lulusan terbaik se-Hindia-Belanda. Ia lulus
pada tahun 1903 M. Karena nilainya yang sangat bagus, Agus Salim berharap
pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah
kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia patah arang.
Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Sebuah
cuplikan dari surat Kartini ke
Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada
Kartini: “Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia
dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau,
yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia
keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin
sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali,
keadaan keuangannya tidak memungkinkan.”
Lalu,
Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke
Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang
puteri bersekolah tinggi. Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800
gulden dari pemerintah ke Agus Salim. Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus
Salim menolak. Dia beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan
karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Salim tersinggung dengan
sikap pemerintah yang diskriminatif. Apakah karena Kartini
berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang memiliki hubungan baik dan erat
dengan pejabat dan tokoh pemerintah sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa?[iii]
Dalam biografi
Agus Salim disebutkan, pada tahun 1906 bersamaan dengan gagalnya dia
melanjutkan sekolah, beliau mendapatkan tawaran kerja sebagai penerjemah di
konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Beliau menerima pekerjaan tersebut
dalam kurun waktu 2 tahun antara tahun 1909 sampai 1911. Disela-sela
pekerjaannya, beliau menimba ilmu lebih jauh tentang agama Islam kepada Syech
Ahmad Khatib, seorang Imam di Masjidil Haram yang juga pamannya sendiri dan
merupakan guru dari KH. Hasyim Asy`ari pendiri NU dan KH. Ahmad dahlan Pendiri
Muhammadiyah. Selain belajar agama, beliau juga belajar mengenai ilmu diplomasi
dan politik. Perpaduan ketajaman ilmu Agama, ilmu Politik, Kemampuan Bahasa
asing dan kecerdasannya yang tinggi membuatnya menjadi pribadi yang disegani.
Saat pulang ke tanah air, beliau langsung aktif dalam pergerakan nasional dan
juga mendirikan Sekolah HIS (Hollandsche Inlandesche School.
Perjuangan
politiknya diawali saat bergabung dengan Serikat Islam pada tahun 1915 yang
dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Beliau sempat menjadi anggota
Volksraad ( semacam DPR/MPR) dari perwakilan SI di pemerintah Hindia Belanda
menggantikan seniornya HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Agus Salim tidak
bertahan lama dan mengalami kekecewaan atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda
sebagaimana pendahulunya dan berkesimpulan berjuang dari dalam tidak efektif
hingga memutuskan focus berjuang melalui SI. Pada tahun 1923 SI pecah secara
ideolgi menjadi SI kiri atau SI merah yang berideologikan ke ``kiri`` yang
dipimpin oleh Semaun dan Darsono yang menjadi cikal bakal PKI dengan SI kanan
atau SI Putih yang berhaluan ideology kanan, dimana Agus Salim tergabung didalamnya
dengan Tjokroaminoto. Agus Salim sering mendapat tuduhan sebagai mata-mata
Belanda, namun ditepisnya dengan keberaniannya untuk mengkritik pemerintah
Belanda melalui pidato-pidatonya. Agus Salim menjadi pimpinan puncak SI
menggantikan HOS Tjokroaminoto yang wafat pada tahun 1934. Selain di SI, beliau
mendirikan juga organisasi Jong Islamieten Bond dan melakukan perubahan pola
pikir dari yang kaku ke Islam moderat dengan meniadakan hijab pemisah antara
tempat duduk laki-laki dan perempuan pada kongres ke 2 Jong Islamieten Bond di
Yogyakarta tahun 1927.[iv]
Agus Salim pernah menjadi
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan
Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung. Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia dipercaya sebagai
Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri
Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim
ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.
Dengan badannya yang kecil, di
kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan julukan The Grand Old Man,
sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi. Banyak
jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia di bidang politik. Ia aktif dalam perjuangan
kemerdekaan melalui organisasi-organisasi yang dikutinya. Berikut adalah
beberapa jabatan yang ia lalui demi negaranya Indonesia
- Anggota Volksraad (1921-1924)
- Anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
- Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
- Pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
- Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
- Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949 [v]
Selain kepiawaianya dalam
bidang diplomatik,Agus Salim juga merupakan sedikit dari orang Indonesia yang
fasih berbicara dalam sembilan bahasa asing. Selain Bahasa Melayu dan Bahasa
Minang yang menjadi bahasa ibunya, Salim juga menguasai Bahasa Belanda, Arab,
Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Mandarin, Latin, Jepang dan Turki. Ia juga
menguasai beberapa bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa dan Sunda. Karena
penguasaannya yang komplet, Salim beberapa kali ditugaskan pemerintah mewakili
Indonesia dalam berbagai perundingan. Pada tahun 1947, ia bersama Sutan Sjahrir
menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia di New Delhi. Selanjutnya
Salim memimpin delegasi Indonesia ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan
kedaulatan. Hasilnya, Indonesia beroleh dukungan kemerdekaan dari Mesir (10 Juni
1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947). Selanjutnya Agus Salim
kembali mendampingi Sutan Sjahrir, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake
Success Amerika Serikat. Dalam Perjanjian Renville, Agus Salim kembali diutus
untuk berunding dengan Belanda. Kali ini ia pergi bersama Perdana Menteri Amir
Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Mohammad Roem, dan Ir. Djuanda.[vi]
Agus Salim, memiliki
pola berpikir yang dipengaruhi oleh lingkungannya dalam hal sosial-intelektual.
Dia adalah anak dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari kalangan
bangsawan dan agama. Jadi, sejak kecil ia hidup di lingkungan yang penuh dengan
nuansa-nuansa keagamaan. Setelah menyelesaikan studi sekolah pertengahannya di
Jakarta, dia bekerja untuk konsulat Belanda di Jeddah (1906-1909). Di sini dia
mempelajari kembali lebih dalam tentang Islam, kendatipun dia memberi
pengakuan: “meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan
mendapatkan pendidikan agama sejak dari masa kanak-kanak, [setelah masuk
sekolah Belanda] saya mulai merasa kehilangan iman.”iii
Agus Salim
merupakan mentor yang menyenangkan. Selain ramah dan menggugah, Salim juga
merupakan tipikal guru yang membimbing. Ketika berdiskusi ia selalu menyerahkan
kesimpulannya kepada masing-masing lawan bicara. Mohammad Natsir salah satu
murid binaannya pernah menuturkan : “ketika sulit memperoleh jalan keluar dari
sebuah permasalahan, para pengurus JIB berpaling ke Agus Salim. Di depan orang
tua itu mereka memaparkan permasalahan. Setelah menyimak dengan cermat, giliran
Salim yang berbicara. Panjang lebar, dari semua aspek ia terangkan, namun tak
menyinggung solusi. Kemudian salah seorang pengurus JIB menyela : tapi mana
jawabnya? Agus Salim hanya merespons : “Jawab permasalahan itu ada pada
Saudara-saudara, karena ini persoalan generasi Saudara, bukan persoalan saya.
Lihat anak saya (sambil menunjuk anaknya yang masih kecil). Jikalau saya
menggendongnya terus, kapan ia berjalan? Biarlah ia mencoba berjalan. Terjatuh
tapi ia akan beroleh pengalaman dari situ” (Ridwan Saidi dalam buku 100 tahun
Agus Salim).
Karena kurang
setuju dengan sikap yang menggurui, Agus Salim pernah meminta Ahmad Dahlan dan
Hasyim Asy’ari, untuk mendidik santri agar tidak mendewakan guru. Menurutnya
kultus individu terhadap guru akan membuat umat menjadi jumud. Alih-alih ingin
membebaskan orang sesuai pesan Islam, taklid buta malah membuat umat semakin
bodoh dan jauh dari nilai-nilai agama.
Haji Agus Salim wafat di usia
70 tahun pada tanggal 4 November 1954. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata Jakarta. Semasa hidupnya, Agus Salim tak pernah di beri tanda jasa.
Secara Anumerta kemudian ia menerima penghargaan dari pemerintah, yaitu
Bintang Mahaputera Tingkat I pada tanggal 17 Agustus 1960 dan penghargaan
Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan pada 20 Mei 1961. Selanjutnya,
27 Desember 1961, berdasarkan SK Presiden RI Nomor 657 Tahun 1961, Haji Agus
Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.[vii]
[i] http://www.biographyinstitute.com/agus-salim/
[ii] jejakislam.net/?p=250
[iii] http://www.biografiku.com/2012/03/biografi-haji-agus-salim.html
[iv] http://www.biografipahlawan.com/2014/11/biografi-agus-salim.html
[v] http://www.pramukaindonesia.com/2015/09/profile-kh-agus-salim-bapak-pramuka.html
[vi] http://afandriadya.com/2013/09/10/7-karakter-nyentrik-haji-agus-salim/
[vii] http://bieta12.blogspot.co.id/2011/07/kh-agus-salim-perjuangannya-untuk.html